Jumat, 31 Agustus 2012

Tentang Priyayi

Etimologi

Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawa para dan yayi yang secara harafiah berarti "para adik". Yang dimaksud adalah para adik raja. Namun Robson (1971) berpendapat bahwa kata ini bisa pula berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta priyā, yang berarti kekasih.

Strata

Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden.
Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.

Priyayi baru

Pada awal abad ke-20, dengan semakin berkembangnya kebutuhan pemerintah Hindia Belanda akan birokrasi pribumi, orang-orang awan di luar trah darah biru mulai mendapat kesempatan untuk mencapai jabatan administratif tertentu dalam birokrasi pemerintahan, melalui jalur pendidikan dan kemampuan berbahasa Belanda. Jabatan juru tulis, jaksa, petugas pajak, guru, dan mantri umumnya dapat ditempati setelah mereka lulus pendidikan. Namun tetap terdapat pembatasan tak resmi untuk jabatan birokrasi tinggi seperti bupati, dimana tidak saja mempertimbangkan kecakapan dan ijazah resmi melainkan juga harus dari kalangan berdarah biru. Golongan priyayi dengan demikian berkembang menjadi dua lapisan, yaitu golongan priyayi tinggi (keturunan ningrat) dan priyayi rendah (priyayi sekolahan).

Pengelompokan Clifford Geertz

Istilah priyayi menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Namun penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi - non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri - abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim   ( Sumber : Wikipedia )

Tentang Nilai Budaya Priyayi


Rate This


Istilah priyayi berasal dari kata “para yayi” yang berarti adik-adik raja. Namun demikian, istilah tersebut bukan hanya sebatas pada adik raja saja, melainkan juga meluas untuk kalangan yang berada di sekitar pusat kekuasaan, termasuk pegawai-pegawai kerajaan atau pemerintahan.
Beberapa pakar telah memberikan batasan tentang priyayi seperti R van Neil, Leslie H. Palmer, Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Seomarsaid Moertono, serta Savitri Scherer. Dari pendapat para ahli tersebut priyayi pada dasarnya adalah status sosial yang didapat melalui upaya-upaya tertentu maupun karena keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional yang terpelajar dan terdidik, serta kerabat-kerabat penguasa, dalam hal ini bupati, wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang disebut dengan kalangan priyayi.
Ditinjau dari aspek kebudayaannya, priyayi memiliki tata laku dan nilai-nilai hidup yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya. Sebagai golongan elite, priyayi adalah pendukung kebudayaan warisan kraton pada masa yang lalu. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki oleh priyayi erat kaitannya dengan sastra Jawa klasik, wayang kulit tentang Mahabarta dan Ramayana, serta seni, baik seni batik, seni tari dan sebagainya. Priyayi Jawa memliki sumber etis dari serat, babad, dan karya-karya lainnya.
Aspek lain yang menjadi nilai budaya dari kaum priyayi dapat dilihat dari aspek budaya feodal. Pada masyarakat feodal, dikenal konsep patron-client. Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client, yang dilambangkan dengan berbagai macam simbol, seperti pakaian, rumah, hewan piaraan, upacara-upacara, pesta-pesta, serta berbagai atribut lainnya. Namun demikian, sebagai patron, sebenarnya priyayi juga memiliki kewajiban untuk melindungi kaum kecil serta memiliki semangat pengabdian untuk kepentingan bersama. http://sejarahkritis.wordpress.com/2012/04/10/tentang-nilai-budaya-priyayi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar